Chain of Suffering

Batari
3 min readAug 19, 2021

“Semua manusia itu pasti mengalami penderitaan dalam hidupnya, bentuknya saja yang beda-beda. Tapi jangan sampai kita membiarkan penderitaan ini kayak borgol, yang selalu menarik kita ke kesedihan. Kita masing-masing harus cari cara sebaiknya untuk mentransformasi penderitaan itu menjadi kekuatan kita.

The way I see my experience, my childhood moments— bahwa lo tidak boleh mengulang kesalahan yang orang tua lo lakukan. … Sadari, dan mau mentransformasi penderitaan menjadi sesuatu yang baik dan memutus rantai penderitaan , sehingga anak gue, cucu gue tidak perlu mengalami apa yang gue alami. But that takes work. You have to realize it, and then you transform.

Banyak orang autopilot aja, mengulang lagi kesalahan yang sama. Akhirnya you are creating damaged people in this world. Damaged children, damaged adults, terus aja, so we have to cut the chain of suffering.”

Ini adalah excerpt dari wawancara Marissa Anita di salah satu channel YouTube. Saya sependapat dengan apa yang Marissa katakan di sana. Mentransformasi sebuah luka atau penderitaan menjadi kekuatan bukanlah suatu hal yang mudah, namun perlu dilakukan.

Untuk melakukan itu, kita mulai dari memahami dan mengenal diri sendiri. Kita harus mau merasakan segala rupa perasaan yang tidak enak. Marah, kecewa, takut, sedih. Betapa sangat tidak nyaman dan menyakitkannya berada di tengah-tengah perasaan tersebut. Jangankan mengubahnya menjadi sesuatu yang produktif, acknowledging the feeling itself takes courage.

Setelah mau merasakan perasaan-perasaan tersebut, baru kita bisa maju lagi, untuk (1) berdamai dan menerima, (2) menggunakan pengalaman tersebut sebagai alat untuk bisa lebih compassionate, terhadap diri kita dan orang lain.

Ini mengingatkan saya pada wawancara Andersoon Cooper kepada Stephen Colbert mengenai grief — bagaimana our grief experience dapat membuat kita memahami penderitaan orang lain.

“You told an interviewer that you have learned to — in your words — ‘love the thing that I most wish had not happened. You went on to say, ‘What punishments of God are not gifts?’ Do you really believe that?”

“It’s a gift to exist, and with existence comes suffering. There’s no escaping that. I don’t want it to have happened. I want it to not have happened, but if you are grateful for your life, then you have to be grateful for all of it. You can’t pick and choose what you’re grateful for.

You get the awareness of other people’s loss, which allows you to connect with that other person, which allows you to love more deeply and to understand what it’s like to be a human being if it’s true that all humans suffer … At a young age, I suffered something so that by the time I was in serious relationships in my life, with friends, or with my wife, or with my children, I’m understanding that everyone is suffering.”

Sayangnya kita cenderung ambil jalan mudahnya saja: (1) Mencari distraksi agar tidak lagi merasakan perasaan tersebut; atau (2) Tidak mau mengakui, menganggap remeh, ataupun surpressing perasaan itu.

Ketika kita mengambil jalan mudah, maka kita akan terus membawa emotional baggage tersebut dan kemungkinan besar melampiaskan pada orang lain atau bahkan menurunkan pada generasi selanjutnya.

Sebaliknya, jika mau berusaha memahami diri kita sendiri, kita bisa lebih mengerti bagaimana rasanya menjadi manusia dan menjadi lebih compassionate, penuh kasih pada diri sendiri dan pada orang lain.

--

--